Khayangannews, Sungai Penuh,- Jabatan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Sungai Penuh resmi berganti tangan. Sukma Djaya Negara, SH, M.Hum., yang sebelumnya menjabat, kini dialihkan ke posisi Kajari Majalengka, Jawa Barat. Posisi Sukma digantikan oleh Robi Harianto S, SH, MH, yang sebelumnya menjabat Koordinator di Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau. Pergantian ini dikonfirmasi singkat oleh Kasi Intel Kejari Sungai Penuh, Moehargung Al Sonta, SH, tanpa menjelaskan alasan atau konteks mutasi.
Di permukaan, mutasi ini disambut dengan harapan besar oleh berbagai kalangan, terutama LSM dan masyarakat sipil yang menilai pergantian pimpinan sebagai momentum untuk memperbaiki kinerja kejaksaan.
Aldi, Ketua LSM Semut Merah, secara tegas menyuarakan harapan agar Kajari baru “lebih berani menuntaskan kasus korupsi yang selama ini mandek, terutama kasus dugaan korupsi proyek PJU Kabupaten Kerinci yang diduga melibatkan oknum DPRD dan Sekretaris Dewan.”
Namun, patut dipertanyakan: apakah pergantian ini benar-benar akan membawa perubahan substansial, atau hanya menjadi “pergantian kursi” tanpa adanya komitmen nyata untuk menuntaskan kasus-kasus yang selama ini tertutup dan penuh rekayasa?
Kasus proyek Penerangan Jalan Umum (PJU) yang selama ini menjadi sorotan masyarakat dan aktivis antikorupsi belum menunjukkan perkembangan berarti. Sejumlah oknum kuat diduga terlibat, tetapi tak satupun tersentuh proses hukum yang serius. Mutasi ini seharusnya menjadi momentum untuk menegakkan transparansi dan akuntabilitas, bukan sekadar ritual rotasi pejabat yang rutin dilakukan tanpa hasil nyata.
Di tingkat lebih tinggi, mutasi juga terjadi di Kejati Jambi. Kajati lama, Dr. Hermon Dekristo, dipromosikan ke Kajati Jawa Barat, digantikan Sugeng Hariadi, SH, MH, dari Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara. Pergantian pejabat di tingkat Kejaksaan ini tertuang dalam Surat Keputusan Jaksa Agung RI Nomor 854 Tahun 2025 yang disahkan pada 13 Oktober 2025.
Publik tentu berharap rotasi besar-besaran ini menandai awal dari reformasi penegakan hukum yang lebih serius, cepat, dan tanpa kompromi terhadap kasus-kasus korupsi di wilayah hukum Jambi, termasuk Sungai Penuh dan Kerinci. Namun, skeptisisme tetap mengemuka, mengingat riwayat panjang ketidakberanian dan “jalan di tempat” penegakan hukum yang selama ini terjadi.
Apakah para pejabat baru ini akan menjadi agen perubahan, atau justru bagian dari sistem yang selama ini terjebak dalam jebakan birokrasi dan kepentingan politik? Waktu yang akan membuktikan.(Kh.25)