Khayangannews, Sungai Penuh,- Di jantung Kota Sungai Penuh, berdiri megah Masjid Hijau bukan sekadar rumah ibadah, melainkan mercusuar cahaya spiritual yang memanggil umat dari berbagai penjuru dunia. Terutama saat Idul Adha, masjid ini berubah menjadi pusat ziarah, menyatukan jejak langkah dari dalam negeri hingga luar negeri. Di sanalah denyut nadi Jam’iyyatul Islamiah (JmI) berdetak kuat, menghidupkan dakwah yang bersumber dari akar tradisi dan cahaya keimanan.
Namun, di balik kemegahan dan ramainya jamaah, tersembunyi kisah perjuangan dan keluhuran niat para pendirinya. Jam’iyyatul Islamiah resmi berdiri pada hari Jumat, 12 Maret 1971 (14 Muharram 1391 H), lahir dari semangat yang dipelopori oleh ulama besar Kerinci, Buya K.H.A. Karim Djamak, dan Mayor Min Harafat. Dalam keheningan dan ketulusan, mereka menanam benih dakwah yang kini tumbuh menjadi pohon rindang, menaungi umat dari segala arah.
Buya K.H. Amir Usman, ulama terkemuka di wilayah itu, turut memberikan restu dan bimbingan spiritual. Ia meyakini perlunya lembaga dakwah yang bersifat non-politis—tulus hanya demi agama dan umat.
Buya Karim Djamak bukan hanya ulama, tapi juga tokoh adat yang disegani. Pada usia 20 tahun, beliau telah mengemban gelar adat "Timo Daharo Tunggak Nagari Mandopo Rawang Koto Teluk Tiang Agama Sakti Alam Kerinci."
Sebagai tokoh sentral, beliau didapuk sebagai Pembina Tunggal JmI. Di tangannya, pengajian tumbuh subur, semangat dakwah menyala, dan nilai-nilai Islam disemai dengan hikmah. Hingga beliau wafat pada 28 April 1996 di Jakarta, namun ruh perjuangannya tetap hidup. Kini, pusara beliau terbaring damai di Sungai Penuh, tepat di sisi Masjid Raya Jam’iyyatul Islamiah—tempat yang setiap Idul Adha selalu dipenuhi peziarah.
Masjid Hijau bukan hanya bangunan batu dan menara. Ia adalah simbol sejarah, pusat keilmuan, dan tempat berlabuhnya rindu umat. Setiap Idul Adha, denting takbir yang berkumandang dari dalamnya mengalun hingga ke relung hati para perantau. Seakan memanggil kembali semua yang pernah merasakan hangatnya dakwah JmI—untuk pulang, berziarah, dan menyatu dalam doa.
Di sanalah, Masjid Hijau berdiri sebagai saksi: bahwa dakwah yang tulus akan selalu menemukan jalannya, dari Kerinci hingga ke pelupuk dunia.
(Oleh: Khairi)