Skandal PJU Kerinci: Jondri Ali dan Oknum DPRD Diduga Otak Penggelembungan Rp5,5 Miliar

Menu Atas

Skandal PJU Kerinci: Jondri Ali dan Oknum DPRD Diduga Otak Penggelembungan Rp5,5 Miliar

Khayangannews
Senin, 22 September 2025
Bagikan:

Khayangannews, Kerinci,  – Praktik anggaran gelap kembali menghantui ruang publik, kali ini lewat proyek Penerangan Jalan Umum (PJU) di Kabupaten Kerinci. Apa yang semestinya menjadi simbol pelayanan pemerintah terhadap rakyat, justru berubah menjadi ajang bancakan anggaran oleh segelintir elite politik dan birokrat.

Data resmi menyebutkan, dalam dokumen RKA-SKPD 2023, Dinas Perhubungan hanya mengajukan Rp476 juta untuk pengadaan komponen rambu-rambu PJU. Namun, angka itu melonjak tak wajar dalam DPA Murni menjadi Rp3,4 miliar, dan makin membengkak lewat RKA Perubahan 2023 menjadi total Rp5,5 miliar — sebuah lonjakan lebih dari 1.000% dibanding usulan awal.

Siapa yang bermain? Di balik lonjakan fantastis ini, sejumlah nama mulai mencuat. Sorotan tertuju pada Sekretaris Dewan (Sekwan) DPRD Kabupaten Kerinci, Jondri Ali, yang disebut sebagai penghubung utama antara pimpinan DPRD, Dinas Perhubungan, dan TAPD. Namun lebih dari sekadar penghubung, Jondri Ali diduga menjadi aktor intelektual dalam mendorong dan memuluskan masuknya “pokok-pokok pikiran” anggota DPRD ke dalam anggaran PJU.

Sumber internal menyebut, pesan yang disampaikan Sekwan kepada dinas sangat jelas: "Pimpinan dewan meminta agar Dinas Perhubungan memfasilitasi pokir mereka, khususnya untuk proyek PJU." Ini bukan lagi sekadar koordinasi administratif, melainkan intervensi langsung terhadap kebijakan anggaran.

Nama-nama seperti Edminudin, Boy Edwar, dan Yuldi Helman juga mencuat sebagai pihak yang aktif mengawal penggelembungan anggaran ini. Berdalih menyerap aspirasi rakyat, mereka justru diduga memaksakan program yang anggarannya tidak proporsional dengan kebutuhan riil masyarakat.

Retorika "aspirasi masyarakat" menjadi tameng, sementara realitanya adalah dugaan penggelembungan anggaran demi kepentingan politik menjelang pemilu.

Potensi Kerugian Negara Capai Miliaran, Tapi Dalang Masih Aman?

Berdasarkan temuan awal, potensi kerugian negara akibat skema ini mencapai lebih dari Rp2,7 miliar, dan hingga kini, 10 orang telah ditetapkan sebagai tersangka. Namun yang ironis, nama-nama besar seperti Jondri Ali dan para oknum DPRD justru belum tersentuh hukum.

Kejaksaan Negeri Sungai Penuh dinilai belum menyentuh aktor intelektual di balik skema korupsi berjamaah ini. Padahal, bukti-bukti keterlibatan mereka mulai terang benderang.
Ketua LSM Semut Merah, Aldi, mendesak aparat penegak hukum untuk tidak hanya menyentuh pelaksana teknis.

“Kalau Kejaksaan mau serius, seharusnya Jondri Ali dan pimpinan DPRD sudah diperiksa, bahkan ditetapkan tersangka. Jangan tebang pilih. Proyek ini jelas-jelas hasil kongkalikong elite birokrasi dan politik daerah,” tegasnya.

Demokrasi Lokal dalam Bahaya: Aspirasi Rakyat Dipelintir Jadi Alat Mark-Up

Kasus ini menjadi potret nyata rusaknya demokrasi lokal. Di mana semangat menyerap aspirasi justru dipelintir jadi celah anggaran untuk kepentingan kelompok. Rakyat hanya jadi tameng, sementara elite politik dan birokrasi menuai keuntungan dari proyek-proyek "pencitraan".

PJU mungkin terpasang di beberapa titik, tapi niat busuk di balik proyek itu menyalakan alarm keras: birokrasi telah disandera oleh kekuasaan politik.

Selama aktor intelektual seperti Jondri Ali dan oknum DPRD masih dibiarkan bebas, maka kasus ini tak ubahnya tontonan elit yang menginjak-injak akal sehat publik.

TUNTUTAN PUBLIK: BUKA SEMUA PERAN, SERET SEMUA PELAKU
Kini publik menunggu: apakah Kejari Sungai Penuh berani mengungkap semua yang terlibat — atau justru memilih diam, membiarkan para dalang politik lolos dari jerat hukum?

Jika hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas, maka jangan salahkan jika rakyat mulai kehilangan kepercayaan. Kerinci butuh penegakan hukum yang adil, bukan sekadar formalitas.(Kh.25) 

Baca Juga