Khayangannews, Kerinci, — Dua peristiwa yang berbeda namun saling berkaitan kini menyeret DPRD Kabupaten Kerinci ke sorotan tajam publik.
Pertama, isu kehilangan laptop di Sekretariat DPRD yang langsung dibantah secara terbuka.
Kedua, rekaman suara Kepala Dinas Perhubungan (Kadishub), Heri Cipta, yang membeberkan dugaan rekayasa proyek Pokok Pikiran (Pokir) senilai Rp 5,7 miliar, namun hingga kini tak satu pun pimpinan DPRD angkat bicara.
Kontras respons itu menimbulkan pertanyaan besar: Mengapa DPRD begitu cepat meluruskan hal kecil, tetapi bungkam total terhadap tudingan serius yang menyentuh integritas lembaga dan uang rakyat?
Klarifikasi Kilat: Isu Laptop Jadi Ajang Pembuktian Moral
ASN Sekretariat DPRD Kerinci, Sudjoko, S.AP, beberapa waktu lalu menggelar konferensi pers resmi untuk membantah isu kehilangan laptop yang sempat beredar di media sosial.
Ia mengaku khilaf dan menyebut informasi yang disampaikannya sebelumnya tidak benar.
“Itu kekhilafan saya pribadi. Tidak ada laptop yang hilang,” ujar Sudjoko saat konferensi pers di kantor DPRD.
Kuasa hukum DPRD, Hasan Basri, SH., MH., bahkan menegaskan klarifikasi itu sebagai bentuk tanggung jawab moral ASN dan langkah menjaga marwah lembaga dari informasi bohong.
Namun langkah cepat dan terbuka ini justru menimbulkan ironi.
Publik menilai DPRD begitu bersemangat membantah hal sepele, sementara pada isu yang lebih substansial — rekaman dugaan korupsi miliaran rupiah — justru membisu total.
Rekaman Heri Cipta: Pengakuan yang Mengguncang, tapi Dianggap Angin Lalu
Dalam rekaman yang kini beredar luas, Heri Cipta menyebut secara gamblang bahwa 41 paket proyek Pokir PJU telah diatur sejak awal oleh oknum tertentu di DPRD dan konsultan perencana.
Mulai dari titik lokasi, daftar kontraktor, hingga nilai proyek — semuanya disebut telah “dikondisikan”.
“41 paket itu sudah diatur dari atas. Kami di Dishub hanya menjalankan administrasi,” ujar Heri dalam rekaman tersebut.
Pengakuan ini semestinya menjadi pintu masuk bagi penegak hukum untuk menelusuri dugaan praktik mafia proyek di tubuh legislatif daerah.
Namun yang terjadi justru kebalikannya: DPRD memilih diam, seolah tidak pernah mendengar pernyataan yang mengguncang itu.
Sikap bungkam ini membuat publik berspekulasi bahwa diam bukan karena tak tahu, tapi karena tahu terlalu banyak.
Kejaksaan Bergerak Setengah Hati?
Kejaksaan Negeri Sungai Penuh memang telah menindaklanjuti kasus ini dan menetapkan 10 tersangka, kebanyakan dari pihak teknis Dinas Perhubungan dan kontraktor pelaksana.
Namun sejauh ini, tidak ada satu pun nama dari DPRD yang terseret, meski dokumen dan rekaman Heri Cipta disebut telah diserahkan kepada penyidik.
“Dishub hanya jalankan administrasi. Semua perintah datang dari luar,” tegas Heri lagi.
Publik pun bertanya-tanya: apakah penyidikan benar-benar menyentuh akar masalah, atau hanya berhenti di level pelaksana untuk melindungi aktor intelektual di balik layar?
LSM Desak DPRD dan Kejari Buka Mata
Ketua LSM Semut Merah, Aldi, menilai diamnya DPRD sebagai tanda lemahnya moral politik.
Menurutnya, lembaga yang seharusnya menjadi pengawas justru berubah menjadi pihak yang perlu diawasi.
“Kalau isu laptop bisa langsung klarifikasi, kenapa soal Pokir miliaran justru bungkam? Jangan-jangan karena yang disampaikan Heri itu benar,” ujarnya tajam.
LSM tersebut juga menuntut Kejari Sungai Penuh memeriksa tiga pimpinan DPRD dan sejumlah anggota yang disebut dalam rekaman Heri Cipta.
“Kalau penegakan hukum ini serius, jangan cuma tangkap pegawai dan kontraktor. Yang mengatur dari atas juga harus diseret,” tegasnya.
Klarifikasi Selektif, Reputasi Dipertaruhkan
Publik Kerinci kini melihat pola yang ganjil: isu ringan disikapi dengan tegas, isu berat dibiarkan menggantung.
Sikap ini menimbulkan persepsi bahwa DPRD hanya berani menghadapi kebenaran yang tidak berisiko — sementara kebenaran yang mengancam kepentingan politik justru disembunyikan di balik diam.
Perbedaan respons itu bukan sekadar soal komunikasi, melainkan soal integritas lembaga dan keberanian menghadapi fakta.
Menunggu Tindakan Nyata, Bukan Klarifikasi Aman. Kasus Pokir PJU kini menjadi cermin bagi publik tentang wajah asli birokrasi Kerinci: cepat bereaksi untuk hal remeh, tapi gagap menghadapi dugaan korupsi. Pertanyaan masyarakat sederhana — apa yang ditakuti DPRD dari rekaman Heri Cipta?
Selama tidak ada klarifikasi atau langkah hukum yang menyentuh ke atas, opini publik akan terus menguat bahwa yang dibungkam bukan isu, melainkan kebenaran.
“ Yang cepat diklarifikasi belum tentu benar.
Yang didiamkan belum tentu salah.
Tapi sering kali, yang didiamkan adalah kebenaran yang paling ditakuti.” (Kh.25)
